Pages

Selasa, 06 Maret 2012

Hanya Kenangan

Pagi membangunkanku dengan bunyi tetes hujan yang berjatuhan di genting. Rasanya masih malas sekali untuk bangun dan keluar dari balik selimut. Tapi aku telah sungkan kepada pagi yang telah menunjukkan harinya sejak 1 jam yang lalu. Jam kamarku sudah menunjukkan jam 6 lebih. Untung saja hari ini aku tak harus berangkat sekolah seperti biasanya. Kubuka jendela kamar yang langsung menghadap kehamparan sawah hijau yang basah. Bagaikan permadani yang sekarang telah langka ditengah perkotaan yang telah padat bangunan. Kuhirup udara pagi yang segar dalam – dalam dan tak lupa bersyukur kepada Tuhan masih memberiku kehidupan hingga hari ini. Burung – burung berkicau dengan ributnya di sangkarnya di dahan – dahan pepohonan. Kulihat mereka sedang meminta – minta makan dari induknya yang telah bersusah payah membagi adil makanannya pada anak – anaknya hingga induknya tak dapat makanan. Begitu banyak pelajaran dan ciptaan Tuhan yang indah dipagi hari yang menyadarkan kita bahwa hidup ini takkan pernah selalu berjalan seperti yang kita harapkan.

Samar –samar kudengar seseorang memaanggil namaku dipagi ini. seseorang yang telah aku duga dari suaranya yang memang tiap minggu pagi akan memanggil – manggil namaku. Kudengar suara itu “ Hey, Lala pahlawan kesiangan. Ayo cepatlah kau bangun. Sudah jam berapa sekarang. Ayo hari ini kita tanding lagi “ kudengar suara itu setiap minggu pagi. Tetapi aku tahu hari ini, suara itu hanyalah angan – angan kosong dalam pikiranku. Aku tahu dia tak mungkin lagi ada didepan pagar rumahku, memanggil namaku tak tahu malu seperti biasanya. Rasanya berbeda tak ada lagi dia yang berteriak – teriak memanggil namaku. Padahal hari ini adalah hari istimewa baginya dan aku ingin merayakannya lagi bersamanya. Kuputuskan segera turun kebawah untuk memulai hari ini. Kulihat ruangan keluarga telah kosong tanpa seorangpun. Seperti biasa aku ditinggal orang – orang rumah sendiri. Padahal hari ini aku begitu gundah harus menjalani pagi ini sendiri. Tanpa kakiku kuperintahkan aku membuka pintu depan dan melihat tak ada siapa –siapa disana. Hanya ada rintik hujan yang tak kunjung reda sejak kemarindan hembusan samar angin membawa suasana yang semakin tak menyenangkan. Walaupun aku tahu dia tak mungkin ada lagi disana, tetap saja aku ingin memastikannya sendiri.

Kuambil 2 raket yang tergantung di dekat pintu. Kupikir aku sudah gila sekarang. Tak mungkin ada orang yang bermain bulutangkis ditengah hujan seperti ini. tetapi tetap saja aku langkahkan kaki kelapangan bulutangkis biasanya aku bermain dengan menyandang 2 raketku. Untuk siapa yang satunya lagi ? aku hanya membawanya saja walaupun aku tahu tak mungkin ada lagi yang memegang raket itu. hanya ada kenangan yang tak mungkin terulang lagi dalam raket itu. kubermain sendiri dengan raketku. Hanya ada tembok tinggi yang menjadi korban smashku yang penuh nafsu tanpa ampun, tembok yang tak bisa melawan dan diam membisu tanpa perlawanan. Mungkin dulu aku akan selalu mendapat perlawanan darinya tanpa henti sampai ada salah satu dari kita yang menyerah dan mengakui kehebatan lawannya. Aku frustasi, aku hentikan permainanku yang tak ada artinya dan kembali pulang dengan pikiran yang tak sadar sepenuhnya.

Kulihat mobil hitam yang digunakan ayah dan ibu telah terparkir di depan rumah yang mengartikan bahwa mereka telah datang. Kuhampiri ibu yang sedang berada di dapur dan menyalaminya.

“ Lala, hari ini kamu ada acara ? bisa temeni ibu datang ke acara ulang tahun teman ibu tidak ?” kata ibu.

“ maaf, Bu. Tapi hari ini aku sudah ada rencana dan tak mungkin aku melupakannya.ibu tahukan ?” kataku.

Aku memang tak berbohong, bukannya aku malas menemani ibu. Tetapi hari ini memang telah ada momen yang tak mungkin aku lupakan sampai kapanpun walaupun itu semua telah tak ada dan percuma saja.

“La, sampaikapan kau akan selalu mengingatnya. Berusahalah untuk melupakannya dan jangan mengenangnya lagi, La”

“Bu, Lala tahu kapan Lala akan berhenti. Lala tahu kapan akan bisa melupakan dan sampai kapan Lala akan terus mengenangnya. Ibu jangan khawatir ini masalah Lala”

Aku tinggalkan ibu, yang masih prihatin dengan diriku yang tak kunjung bisa melupakan momen hari ini dan selalu mengingatnya. Aku bersiap – siap pergi kesuatu tempat yang sudah 2 tahun ini selalu kukunjungi. Aku pilih pakaian yang juga tahun lalu kupakai kesana. Aku langkahkan kaki di jalan yang masih sepi dan becek karena hujan. Tak lupa aku membeli bunga yang sama seperti saat itu di toko bunga langgananku. Di sepanjang jalan, aku hanya bisa memandang langit yang kelabu. Gunung yang menjulang tinggi tertutup awan. Didepan sana kulihat pohon – pohon semakin rapat menandakan tempat tujuanku telah semakin dekat.

Aku masuk ke gerbang melengkung yang sudah sering kulewati. Mungkin jika dia hidup, dia akan bosan melihatku yang sering sekali melihatku melewatinya. Aku telusuri jalan setapak yang ada dan berhenti di tempat yang selalu aku rindukan. Aku berjongkok di depannya dan mencabuti rumput – rumput liar yang telah banyak tumbuh. Setelah semua rumput liar telah habis kucabuti, aku pejamkan mataku. Aku kenang semua yang telah terjadi 2 tahun yang lalu dan berdoa kepada Tuhan. Setelah kurasa doaku telah cukup. Aku letakkan rangkaian bunga di depan pusaranya seraya mengucapkan “ Happy Birthday, Zar. Jika kau masih hidup sekarang mungkin kita akan masih jalani 17 tahun kita bersama. Aku hanya berdoa semoga kau di tempatkan disisiNya. Maafkan aku selalu datang kepadamu. Aku harap ini kunjungan terakhirku dan takkan pernah lagi”. Aku tinggalkan pemakaman beserta seluruh kenangan yang ditinggalkannya untukku. Aku memutuskan itu hanya sebuah kenangan yang untuk terakhir kalinya, untuk hari ini dan sekarang saja aku kenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Selasa, 06 Maret 2012

Hanya Kenangan

Pagi membangunkanku dengan bunyi tetes hujan yang berjatuhan di genting. Rasanya masih malas sekali untuk bangun dan keluar dari balik selimut. Tapi aku telah sungkan kepada pagi yang telah menunjukkan harinya sejak 1 jam yang lalu. Jam kamarku sudah menunjukkan jam 6 lebih. Untung saja hari ini aku tak harus berangkat sekolah seperti biasanya. Kubuka jendela kamar yang langsung menghadap kehamparan sawah hijau yang basah. Bagaikan permadani yang sekarang telah langka ditengah perkotaan yang telah padat bangunan. Kuhirup udara pagi yang segar dalam – dalam dan tak lupa bersyukur kepada Tuhan masih memberiku kehidupan hingga hari ini. Burung – burung berkicau dengan ributnya di sangkarnya di dahan – dahan pepohonan. Kulihat mereka sedang meminta – minta makan dari induknya yang telah bersusah payah membagi adil makanannya pada anak – anaknya hingga induknya tak dapat makanan. Begitu banyak pelajaran dan ciptaan Tuhan yang indah dipagi hari yang menyadarkan kita bahwa hidup ini takkan pernah selalu berjalan seperti yang kita harapkan.

Samar –samar kudengar seseorang memaanggil namaku dipagi ini. seseorang yang telah aku duga dari suaranya yang memang tiap minggu pagi akan memanggil – manggil namaku. Kudengar suara itu “ Hey, Lala pahlawan kesiangan. Ayo cepatlah kau bangun. Sudah jam berapa sekarang. Ayo hari ini kita tanding lagi “ kudengar suara itu setiap minggu pagi. Tetapi aku tahu hari ini, suara itu hanyalah angan – angan kosong dalam pikiranku. Aku tahu dia tak mungkin lagi ada didepan pagar rumahku, memanggil namaku tak tahu malu seperti biasanya. Rasanya berbeda tak ada lagi dia yang berteriak – teriak memanggil namaku. Padahal hari ini adalah hari istimewa baginya dan aku ingin merayakannya lagi bersamanya. Kuputuskan segera turun kebawah untuk memulai hari ini. Kulihat ruangan keluarga telah kosong tanpa seorangpun. Seperti biasa aku ditinggal orang – orang rumah sendiri. Padahal hari ini aku begitu gundah harus menjalani pagi ini sendiri. Tanpa kakiku kuperintahkan aku membuka pintu depan dan melihat tak ada siapa –siapa disana. Hanya ada rintik hujan yang tak kunjung reda sejak kemarindan hembusan samar angin membawa suasana yang semakin tak menyenangkan. Walaupun aku tahu dia tak mungkin ada lagi disana, tetap saja aku ingin memastikannya sendiri.

Kuambil 2 raket yang tergantung di dekat pintu. Kupikir aku sudah gila sekarang. Tak mungkin ada orang yang bermain bulutangkis ditengah hujan seperti ini. tetapi tetap saja aku langkahkan kaki kelapangan bulutangkis biasanya aku bermain dengan menyandang 2 raketku. Untuk siapa yang satunya lagi ? aku hanya membawanya saja walaupun aku tahu tak mungkin ada lagi yang memegang raket itu. hanya ada kenangan yang tak mungkin terulang lagi dalam raket itu. kubermain sendiri dengan raketku. Hanya ada tembok tinggi yang menjadi korban smashku yang penuh nafsu tanpa ampun, tembok yang tak bisa melawan dan diam membisu tanpa perlawanan. Mungkin dulu aku akan selalu mendapat perlawanan darinya tanpa henti sampai ada salah satu dari kita yang menyerah dan mengakui kehebatan lawannya. Aku frustasi, aku hentikan permainanku yang tak ada artinya dan kembali pulang dengan pikiran yang tak sadar sepenuhnya.

Kulihat mobil hitam yang digunakan ayah dan ibu telah terparkir di depan rumah yang mengartikan bahwa mereka telah datang. Kuhampiri ibu yang sedang berada di dapur dan menyalaminya.

“ Lala, hari ini kamu ada acara ? bisa temeni ibu datang ke acara ulang tahun teman ibu tidak ?” kata ibu.

“ maaf, Bu. Tapi hari ini aku sudah ada rencana dan tak mungkin aku melupakannya.ibu tahukan ?” kataku.

Aku memang tak berbohong, bukannya aku malas menemani ibu. Tetapi hari ini memang telah ada momen yang tak mungkin aku lupakan sampai kapanpun walaupun itu semua telah tak ada dan percuma saja.

“La, sampaikapan kau akan selalu mengingatnya. Berusahalah untuk melupakannya dan jangan mengenangnya lagi, La”

“Bu, Lala tahu kapan Lala akan berhenti. Lala tahu kapan akan bisa melupakan dan sampai kapan Lala akan terus mengenangnya. Ibu jangan khawatir ini masalah Lala”

Aku tinggalkan ibu, yang masih prihatin dengan diriku yang tak kunjung bisa melupakan momen hari ini dan selalu mengingatnya. Aku bersiap – siap pergi kesuatu tempat yang sudah 2 tahun ini selalu kukunjungi. Aku pilih pakaian yang juga tahun lalu kupakai kesana. Aku langkahkan kaki di jalan yang masih sepi dan becek karena hujan. Tak lupa aku membeli bunga yang sama seperti saat itu di toko bunga langgananku. Di sepanjang jalan, aku hanya bisa memandang langit yang kelabu. Gunung yang menjulang tinggi tertutup awan. Didepan sana kulihat pohon – pohon semakin rapat menandakan tempat tujuanku telah semakin dekat.

Aku masuk ke gerbang melengkung yang sudah sering kulewati. Mungkin jika dia hidup, dia akan bosan melihatku yang sering sekali melihatku melewatinya. Aku telusuri jalan setapak yang ada dan berhenti di tempat yang selalu aku rindukan. Aku berjongkok di depannya dan mencabuti rumput – rumput liar yang telah banyak tumbuh. Setelah semua rumput liar telah habis kucabuti, aku pejamkan mataku. Aku kenang semua yang telah terjadi 2 tahun yang lalu dan berdoa kepada Tuhan. Setelah kurasa doaku telah cukup. Aku letakkan rangkaian bunga di depan pusaranya seraya mengucapkan “ Happy Birthday, Zar. Jika kau masih hidup sekarang mungkin kita akan masih jalani 17 tahun kita bersama. Aku hanya berdoa semoga kau di tempatkan disisiNya. Maafkan aku selalu datang kepadamu. Aku harap ini kunjungan terakhirku dan takkan pernah lagi”. Aku tinggalkan pemakaman beserta seluruh kenangan yang ditinggalkannya untukku. Aku memutuskan itu hanya sebuah kenangan yang untuk terakhir kalinya, untuk hari ini dan sekarang saja aku kenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar